Tag

wpid-picsart_1404473231314.jpgNak,
Pagi tadi ku awali dengan membingkis doa dalam hati seusai semalaman bercerita tentangmu bersama seorang kawan serta beberapa rokok yang bergemul di mulut kita. Namun ada yang belum kuselesaikan dalam dongeng itu karena kawanku pergi tidur menyertai rentanya malam yang di terjang surya.

Dongeng rindu belum usai kuceritakan, masih menagih seorang insomnia sekedar mendengar syahwat kerinduan yang begitu besar kepadamu nak. Yang tersisa disini hanya si persegi panjang 4inc, ku peluk ia dengan sebelah tangan. Sentuhan demi sentuhan kuberikan merangkai dongeng yang belum usai di dengar. Sungguh saat itu aku tak memerlukan nada yang lain, selain rekaman suaramu yang memanggilku “ayah”. Tahukah engkau betapa bahagianya aku di tengah kau belajar bicara, kau melafal kata itu dengan jelas dan juga betapa sedihnya aku ketika mengingat cerita ibu dahulu.

Dahulu saat ibu merawatku sendiri karena perceraian yang sungguh aku tak ingin tau mengapa itu terjadi. Saat itu usia ku 2 tahun beda beberapa bulan dengan usiamu kini nak, aku dahulu seperti mu menyebut orang lain “ayah” mungkin karena aku memang butuh seorang ayah. Hingga pada akhirnya, akibat aku sering memanggil ayah tiriku saat ini dengan kata ; “ayah”. Ibu ku memutuskan menikah dengan aku yang membutuhkan ayah sebagai alasan. Karena itu aku sangat menyayangimu nak keberadaanmu sekarang adalah aku yang dahulu, yang merasa miskin kasih sayang ayah. Aku bisa rasakan itu, saat lingkar pelukmu di leherku, saat jemari mu erat menginkat telunjuk ku, saat senyum kebahagiaanmu menancap dihatiku.

Aku rindu kamu nak, ayah rindu kamu!. Namun aku tak mau lagi memasuki dunia ibumu yang sering membuat hati ngilu. Aku benci ibumu yang begitu mudah mendengar di banding merasa. Untuk itu, dengan cara ini mungkin aku bisa menghilangkan kerinduanku padamu atau sekedar menghampirimu dengan doa saja karena aku tahu, mungkin ibumu akan marah jika masih kau ingat aku sebagai ayahmu. Karena ayah barumulah yang harus kau panggil ayah, bukan aku yang sedang merindumu kini.

Nak, semoga kau kelak bisa mengeja secerca tulisan yang tak rapi tentang kerinduan ini. Rindu yang tak pernah aku ketahui akhirnya dimana. Nak, aku akan menyayangimu selama aku bisa, selama apapun jika kau memperkenankan. Datanglah padaku jika kau mulai tahu siapa yang pernah menggendongmu dan mengajakmu bermain di pinggiran rel kereta kiaracondong. Datanglah tolong, jika kau mulai tahu siapa yang menyuapimu dan memberimu susu di hari itu. Aku ingin melihatmu ketika kamu tak lagi terjatuh dalam melangkahkan kakimu, aku ingin menggendong kembali  tubuh mungilmu dahulu jika ada suatu masa mempertemukan kita, tak peduli berapa usia kita nanti.

Nak, selama engkau bersamaku memang tak ada yang bisa kuberikan padamu,       sementara hanya kasih sayang saja. Tapi aku berjanji aku akan memberikanmu sebuah cerita tentang aku dan ibumu. Agar kau tahu, Aku sedikitpun tak pernah berniat meninggalkanmu karena aku tahu kaulah hal yang akan membuatku lemas karena merindu. Ibumu tidaklah salah hanya saja kurang mempercayai aku untuk bisa menghidupi kalian. Mungkin karena aku menolak diperbudak para pemodal, menolak bekerja yang terlalu mudah mendapatkan upah cuma-cuma dan tak mau melulu mencari dunia untuk kesenangan yang tiada habisnya. Aku ingin mengajak ibumu belajar bersama tentang syukur yang menjadi pangkal kebahagiaan, Aku ingin mengajak ibumu belajar bersama menyeimbangkan dua hidup yang kuyakini dalam ajaran kita. Tapi ibumu tak mau ikuti caraku, menganggap semua itu hanya sebagai alasan atas  kemalasanku. Demi tuhan nak, aku tak mungkin membiarkan kalian lapar, kedinginan, bahkan menangis. Meski aku berpenampilan urakan seperti ini, aku bisa memberikan kalian kebahagiaan yang kalian mau. Aku bisa mengimami kalian dan menjaga ketentraman di keluarga kita. Aku korban perceraian, aku tak mungkin mau kau menjadi korban perceraian lagi. Sepanjang hidupku aku sering menjumpai hal buruk yang kuduga gara-gara perceraian orang tuaku.

Seribu sayang, mimpiku tak berhasil terselesaikan bersama kalian. Aku dan Ibumu berakhir dan hanya karena tuhan saja yang mampu menyuruh kita mengulang. Kemudian rinduku padamulah yang menuntunku menulis semua ini, terutama untuk mengobati ku.

Teruntukmu : Kahfi Argya Fakhri