Tag

,

Bangunlah Hai Kaum Pemuda
Jangan Diam-Diam Termenung Saja
Bangunlah Hai Kaum Pemuda
Angkat Pena Jungjunglah Kata

Bangunlah Hai Kaum Pemuda
Buktikan Semua Cita-Cita Mulia
Bangunlah Hai Kaum Pemuda
Singkirkan Keras Kepala

Kami Pemuda Rakyat Punya Tinju Yang Kuat
Paham Adat Bejad Kan Kami Sikat
Kami Pemuda Rakyat Punya Suara Yang Bulat
Dari Rakyat Kembali ke Rakyat

Fajar tetap saja meninggi tak sedikitpun sedih di temani polusi-polusi yang semakin mengepul di langit desaku, polusi dari pabrik yang berencana akan menelan sekotak lahan tersisa di kampung kumuh kami, lahan yang sudah kami bersihkan sedari kemarin agar dapat dipergunakan oleh anak-anak kampungku, untuk sekedar mengisi hari libur dan bermain bola. Sebelum semua berpagar angkuhnya benteng dan bermahkota kawat duri yang mengancam dengan garang.

Hari itu beberapa kawan berlumur lumpur, berbekal tekad dan beberapa perkakas yang kami pinjam dari tetangga sekitar pesawahan. Memberi sedikit waktu pada pesawahan terlantar yang nampak seperti rawa dengan kakangkungan yang telah menjulang menggapai galengan. Berbagai tanya kita kantongi, beberapa lagi di jawab dengan kekonyolan yang sedikit menyubit para pengurus di kampung kami. karena beberapa dari mereka menyuruh kami untuk menghampiri ketua rukun warga terpilih dan meminta ijin menggarap lapangan yang sedang kami kerjakan. Sontak kami bertanya kembali: “Apa perlu kita ijin? Dia RW baru meskipun masih orang yang sama”.

Pasalnya baru beberapa hari kemarin di kampungku diadakan pemilihan calon ketua RW yang kami awasi prosesnya dari awal. Pemilihan itu tak demokratis, sebab semua panitia pemilihan berasal dari kubu RW lama yang jelas-jelas tidak netral, proses penghitungan suara berlangsung tanpa pengawasan di kedua belah pihak. Seharusnya dia tidak boleh lagi mencalonkan diri lagi karena sudah 3 periode lebih ia menjabat sebagai Ketua RW. Sekalipun geli saya coba membaca Perda Kota Bandung disana jelas peraturan atasan Bapak tercantum bahwasanya “Ketua RT dan Ketua RW yang telah menjalani 3 (tiga) kali masa bakti tidak dapat dicalonkan kembali untuk pemilihan Ketua RT dan Ketua RW periode berikutnya kecuali telah terputus satu periode masa bakti oleh Ketua RT dan Ketua RW yang lain” (1). Cukup disitu saya membicarakan unek-unek saya dengan meminjam Peraturan yang tidak sepenuhnya yakin dapat di pertanggung jawabkan oleh pembuat peraturan.

Asal Bapak ketahui, Kami telah berusaha mencari pengganti bapak setelah tahu kabar pemilihan Ketua RW akan diadakan. Kami telah banyak merasakan sikap diskriminasi Bapak pada warga-warga yang kurang mampu, kami pikir bapak sudah ingin di gantikan oleh warga lain yang mungkin lebih peduli kepada warganya. Dimulai dari sumur yang Bapak gali di pelataran sebuah masjid yang kini berlabel, Bapak sebut itu Kelompok Swadaya Masyarakat . Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) adalah kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yaitu adanya Visi , kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama (2). KSM versi bapak mungkin berbeda, warga di paksa membentuk kelompok tersebut karena ketika bor sudah menancap di tanah barulah pertemuan untuk musyawarah mufakat bapak adakan dan struktur kepengurusan sudah Bapak Rancang tanpa ada kemufakatan warga. Jelas, warga tak bisa lagi berbuat apa-apa selain menyetujui dengan berat hati karena tahu sumur di rumahnya akan kekeringan dan terpaksa mengeluarkan biaya Rp. 600.000 untuk memasang paralon agar air sebagai modal kehidupan bisa mengalir ke rumah kami. Mungkin bapak kira semua warga di kampung ini mampu mengeluarkan uang sebesar itu. Mayoritas di kampung kita adalah pemodal lampu las dengan roda kecil yang tak jarang tidak membawa uang ketika kembali dari perkelanaan mencari nafkah di jalanan.

Nenek dan Ibuku meminta saran kepadaku perihal ini, dia bertanya ” Kita pasang air jangan? “. Aku menghela napas sejenak, aku tahu itu bukan hanya pertanyaan melainkan sebuah dikte atau semacam ungkapan meminta bantuan. Aku tidak bisa dengan cepat meng-iya-kan pertanyaan itu, karena aku sadar keadaanku sekarang tidak memungkinkan untuk membantu membayar biaya bulanannya , jika untuk mebayar biaya pemasangan mungkin aku mampu. Jika memperhitungkan dengan biaya Rp. 3.000/m3 di kali kebutuhan air sehari-hari serta mempertimbangkan status ku sebagai penganggur, aku sangat berkecil hati mampu membayarnya.

Berdasarkan survei (3) Pemakaian air rata-rata rumah tangga di perkotaan di Indonesia sebesar setiap orang 144 liter perharinya. Pemakaian terbesar adalah untuk keperluan mandi sebesar 60 liter perhari perorang atau 45 persen dari total pemakaian air.  Jika 144 liter x 6 orang keluarga saya x 30 hari = 25.920 liter lalu di bagi 1000 ( 1m3=1000 Liter ) sama dengan 25,92 m3 perbulan lalu dikalikan Rp. 3.000/m3  sama dengan Rp. 77.760 belum beban listrik perbulan sebesar Rp. 3.000. Jadi uang yang harus keluarga saya keluarkan perbulan adalah sebesar Rp. 80.760 itu hanya untuk kebutuhan air saja belum listrik yang juga penting. Itu perhitungan untuk keluargaku yang sekarang sedang berada di titik yang lumayan rendah setelah beberapa tahun lalu ayahku berhenti bekerja / Mengundurkan diri setelah masa tua yang seharusnya segera diberhentikan oleh perusahaan tidak kunjung tiba. Itu pula menjadi salah satu alasan mengapa aku menganggur saat ini.

Belum jika saya melihat keadaan nenekku seorang janda tua yang tinggal dengan 2 orang anak, paman dan bibiku. Pamanku sama menganggur sepertiku dengan alasan yang tak jauh beda denganku, namun ia lebih tidak pilih-pilih dalam kerjaan apapun karena memiliki tubuh normal tidak sepertiku gemuk dan gampang sakit. Bibiku sekarang kembali mengamuk jika dia tidak diberi apa yang diinginkannya, maklum bibiku dulunya seorang pecandu yang telah berhasil sembuh setelah melewati rahabilitasi beberapa bulan di RSJ Cisarua. Yang diinginkan bibiku mungkin tidak sesulit yang orang lain pikir, hanya berbungkus rokok dan kopi untuk temani ia melamun menapaki masa lalunya yang tak rapih.

Seharusnya Bapak tahu sumur yang bapak bor itu menyebabkan sumur kami yang tadinya bersih dan melimpah menjadi kering bercampur lumpur. Nenek terpaksa setiap subuh sebelum shalawat tarhim menuju MCK membawa dua ember kosong di depan rumah tetangga yang masih mengalir setelah dikononkan air dari pabrik tidak akan mengalir lagi, atau mungkin itu alasan anda saja untuk menjalankan siasat anda menyengsarakan rakyat dan memberi pekerjaan pada orang-orang terdekat anda. Karena kenyataannya air dari pabrik masih juga mengalir untuk orang-orang terdekat anda juga.

Sungguh terlalu kentara perlakuan bapak, sementara kami hanya menjerit dengan kata-kata di manapun tempatnya yang menyediakan ruangan untuk menjerit. Di depan rumah bapak, di depan orang-orang bapak dan diantara seringai bapak. Sementara ini hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai bocah ingusan yang merasa di sakiti oleh kekuasaan yang bapak punya.